Munculnya METODE AL HIDAYAH
Munculnya METODE AL HIDAYAH |
Perkembangan metode pengajaran Al Qur’an dimulai sekitar akhir tahun 70-an namun Al Bagdadi masih banyak pula dipergunakan. Hingga tahun 1990-an metode-metode lainnya baru mulai dikenal masyarakat, seperti Qiroati, Iqro’, dll. Metode-metode ini dianggap lebih mudah, efektif dan efisien. Apalagi kemudian banyak pula pengajar Al Qur’an mulai melirik orang-orang dewasa sebagai sasaran dakwah. Orang dewasa produktif yang umumnya sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, menginginkan metode belajar Al Qur’an praktis dan singkat. Metode pengajaran jenis ini antara lain An Nuur, Al Barqi, Al Wahyu, dll.
Munculnya METODE AL HIDAYAH |
Berdasarkan pengalaman mengajar bertahun-tahun menggunakan berbagai metode. Kami menawarkan sebuah metode yang kami beri nama AL HIDAYAH. Ciri khas metode ini dengan metode-metode yang lain adalah adanya metode warna dan jumlah tahapan belajar yang lebih sedikit (empat jilid).
Munculnya METODE AL HIDAYAH |
Dari pengalaman penyusun mengajar dengan menggunakan beberapa metode, maka penyusun mengambil inisiatif untuk:
1. Merumuskan metode yang komposisi kesulitan materi tiap jilid berimbang, agar ketuntasan jilid-jilid yang ada bisa maksimal. Misalnya jika diajarkan di sekolah, tentunya target yang dipakai untuk menuntaskan materi perjilid sama, yaitu satu semerter atau dua semester, sehingga ada keseimbangan waktu antara mengajar jilid satu, dua, tiga dan empat.
2. Penyusun berusaha untuk tidak memisah materi yang seharusnya bisa digabung misalnya: Mim sukun dibaca dengung bila bertemu ba dan mim sukun bertemu mim; Materi dlommah diikuti wawu sukun dan fathah diikuti wawu sukun; Materi dlommah diikuti wawu sukun dan fathah diikuti wawu sukun; Materi kasrah diikuti ya sukun dan fathah diikuti ya sukun dan lain-lain. pemisahan materi-materi tersebut menurut penyusun sebaiknya dihindari karena kurang efisien.
Karena itu format buku AL HIDAYAH mempunyai konsentrasi. Jilid satu konsentrasi pada pengenalan huruf berangkai dan tidak berangkai. Jilid dua pada huruf panjang pendek. Jilid tiga pada huruf mati karena sukun, tasydid dan waqaf. Sedangkan jilid empat pada bacaan dengung dan jelas.
3. Masalah ketuntasan materi sangat penyusun perhatikan. Karena itu setiap materi disertai dengan contoh huruf hijaiyah yang lengkap. Menurut penyusun kekurang- lengkapan contoh berimplikasi pada kesulitan baca pada materi berikutnya. Anak-anak menjumpai hal-hal yang tidak diketahui karena pada materi yang membahas hal tersebut tidak disertai contoh yang lengkap. Sedangkan pada prakteknya dibelakang nanti masih banyak huruf-huruf berharakat yang sama.
4. Penyusun berusaha menghindari pembahasan materi yang berulang-ulang karena sebenarnya tanpa mengulang materi tersebut (pembahasan konsep) santri sudah mengulangnya setiap membaca bacaan walaupun tanpa disadari. Dan juga hal itu tidak penyusun lakukan karena pengajaran tuntas adalah ruh dari metode ini.
5. Penyusun berusaha menfokuskan materi agar santri benar-benar menguasai dengan cara memberikan pengajaran sangat pendek pada tiap awal materi. Materi ini hanya sebagai pancingan namun sangat berimplikasi pada kemampuan santri. Selanjutnya penyusun melanjutkan dengan kalimah agak panjang yang mewakili seluruh huruf hijaiyah dengan berbagai model agar lisan santri terlatih dengan baik. Lalu berikutnya disusul dengan yang lebih panjang.
6. Penyusun tidak mencantumkan materi-materi berikut:
Apa yang penyusun kemukakan di atas adalah keyakinan dan pengalaman penyusun yang sudah pernah diuji coba. Tidak tertutup kemungkinan ada model pengajaran baru yang lebih efektif, karena itu penyusun sangat berharap para pecinta al Quran mengkritisi pendapat tersebut. Dan tentunya penyusun sangat terbuka untuk menerima perubahan yang lebih baik.
3. Masalah ketuntasan materi sangat penyusun perhatikan. Karena itu setiap materi disertai dengan contoh huruf hijaiyah yang lengkap. Menurut penyusun kekurang- lengkapan contoh berimplikasi pada kesulitan baca pada materi berikutnya. Anak-anak menjumpai hal-hal yang tidak diketahui karena pada materi yang membahas hal tersebut tidak disertai contoh yang lengkap. Sedangkan pada prakteknya dibelakang nanti masih banyak huruf-huruf berharakat yang sama.
4. Penyusun berusaha menghindari pembahasan materi yang berulang-ulang karena sebenarnya tanpa mengulang materi tersebut (pembahasan konsep) santri sudah mengulangnya setiap membaca bacaan walaupun tanpa disadari. Dan juga hal itu tidak penyusun lakukan karena pengajaran tuntas adalah ruh dari metode ini.
Munculnya METODE AL HIDAYAH |
6. Penyusun tidak mencantumkan materi-materi berikut:
- Dlommah diikuti wawu sukun ada alif-nya atau tidak ada alifnya. Menurut pengalaman penyusun, dengan memberitahu pada saat anak bertanya sudah cukup efektif sehingga tanpa satu pembahasan khususpun insya-Allah gampang dipahami. Materi ini cukup dengan pemberitahuan singkat tak perlu latihan khusus.
- Penyusun tidak menjadikan satu materi khusus pada pengajaran ro’ sukun. Karena sudah menjadi satu kesatuan dengan pengajaran sukun. Sedangkan pengajaran tarqiq dan tafkhim akan diajarkan pada saat sudah naik ke al Quran.
- Penyusun tidak mencantumkan pengajaran hamzah, ‘ain dan fa’ sukun dalam satu pokok bahasan karena huruf sukun cukup diajarkan pada pokok bahasan sukun. Begitu pula dengan perbedaan makhraj sudah diajarkan pada jilid satu sehingga jika ada kekeliruan pada jilid berikutnya cukup diingatkan saja.
- Materi alif lam sukun cukuf efektif jika diajarkan bersama pokok bahasan huruf ber-sukun. Tak perlu satu materi khusus yang terpisah.
Munculnya METODE AL HIDAYAH |
Munculnya METODE AL HIDAYAH |
Dimana kita bisa pesan buku alhidayah..mohon informasi nya..
ReplyDelete